KOMUNITAS UNGU

The Herstory of KomunitasUngu

Picture
The GodMothers of KomunitasUngu
 Oleh Ikhaputri Widiantini

Keprihatinan terhadap kurangnya wadah bagi perjuangan perempuan di kampus membuat beberapa mahasiswa menyadari pentingnya membuat sebuah kelompok yang secara fokus membahas tema-tema feminisme dan isu-isu yang terkait dengan kehidupan di sekitar kampus. Salah satunya adalah munculnya Komunitas Ungu di kampus Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia (FIB UI). Problem yang menginspirasi mereka tentunya tidak pernah jauh dari kehidupan sehari-hari yang mereka alami.

Jauh sebelum Komunitas Ungu ini terbentuk, pergerakan perempuan di FIB pernah terwadahi lewat salah satu divisi di Senat Mahasiswa FIB UI yakni Divisi Perempuan. Dua kali masa kepengurusan senat tersebut, divisi perempuan ini cukup luwes dalam memasukkan isu-isu perempuan ke dalam dunia kampus. Seminar mengenai pornografi dan penulisan perempuan pernah menjadi tema pokok acara mereka. Buletin pun menjadi alat kampanye, sehingga lingkungan kampus mulai mengenal, menyadari, dan memperhatikan mengenai apa yang disebut feminisme dan isu-isunya. Pergantian pengurus justru mematikan divisi tersebut, dan dileburkan dalam divisi besar lainnya. Efeknya, isu perempuan tidak lagi diangkat, bahkan pelabelan terhadap aktivis perempuan mulai dibangun. Kegiatan yang diadakan seringkali berkaitan dengan hasta karya, yang diidentikkan dengan kegiatan perempuan. Para aktivis yang tetap berjuang dalam ideologinya mulai kewalahan dengan berbagai usaha peniadaan kesempatan untuk mengadakan diskusi yang bertemakan perempuan—kalau toh diperbolehkan, haruslah membuat perempuan ‘menjadi lebih baik’.

Halangan semacam ini tentu tidak mematikan kreativitas aktivis perempuan di kampus. Berbagai macam cara dilakukan, sehingga dengan bergerilya, isu-isu perempuan tetap diangkat dan kampanye tetap dilaksanakan. Kemajuan pemikiranpun terlihat, mahasiswa tidak sekedar tahu, melainkan mulai peduli. Kemudia, diawali dari permasalahan yang berkaitan dengan isu pornografi—yang terjadi di FIB UI—membuat kelompok ‘bawah tanah’ tersebut merasa, perlu ada wadah yang pasti untuk menyatakan ‘perang’ terhadap diskriminasi perempuan. Pada saat itu, kampus FIB UI dipenuhi selebaran mengenai penolakan terhadap pornografi dan pornoaksi. Posisi perempuan dipersulit, karena justru yang disalahkan adalah perempuan-perempuan yang dikatakan ‘membela perempuan’ tetapi cara berpakaiannya tetap mengundang nafsu. Penilaian ‘baik’ dan ‘tidak baik’ terlihat jelas dalam selebaran tersebut. Perempuan yang terlalu agresif dianggap sebagai penyebab degradasi moral dan seharusnya malu dengan sifat mereka.

Sangat menyedihkan, mengingat bahwa dibalik pengakuan kesederajatan antara perempuan dan laki-laki, ternyata masih banyak stigma-stigma yang mengakar dan membuat banyak cara dilakukan agar pengekangan terhadap perempuan terus dijalankan. Meminjam pola pikir kaum fundamentalis agama, yang mengatakan bahwa tindakan perempuan harus mencerminkan moral yang baik agar moral bangsa ini pun menjadi baik. Hanya saja, cara mereka menyampaikan justru menunjukkan tidak ada kedamaian dalam berperilaku. Perlawanan terhadap stereotipe perempuan ini dilakukan lewat diskusi-diskusi di kampus. Banyaknya dukungan (salah satunya oleh Dr. Gadis Arivia) kemudian memperkuat lahirnya Komunitas Ungu pada tanggal 25 November 2006 yang diprakasai oleh Ikhaputri Widiantini, Stephani Natalia, dan Tiwi Sinaga.

*Keterangan foto dari kiri ke kanan: Tiwi - Hanie - Putri