KOMUNITAS UNGU
 
Indonesia dan 21 April, menjadi tanda atas memori perayaan Hari Kartini. Sebenarnya apa yang diinginkan melalui perayaan ini? Apakah ini menandai sebuah penghargaan terhadap perjuangan perempuan Indonesia? Ataukah justru sebagai penyempitan “pesta sehari” bagi perempuan? Ada yang beramai-ramai merayakan dengan pesta baju adat dan perlombaan-perlombaan “khas” perempuan. Sejak April datang, mal-mal berlomba-lomba mempromosikan potongan harga khusus untuk item-item perempuan. Berbagai talkshow bertemakan “perempuan” dihadirkan. Namun, ada pula yang mempertanyakan, kenapa harus Kartini? Bagi mereka Kartini adalah simbol dari Jawaisme pada era orde baru. Lalu dimana ruang perayaan bagi pahlawan perempuan lainnya?
Saya adalah perempuan yang menolak seluruh anggapan tersebut. Bagi saya, baik yang pro maupun kontra jelas terjebak pada atribut semata. Yakni ‘Hari Kartini’-nya saja. Perjuangan perempuan dapat dilakukan setiap hari. Sesekali ada hari peringatan tidak masalah, sebagai upaya untuk mengingatkan kembali sejarah kelam penindasan perempuan, sehingga semangat terus dikobarkan. Pesta bagi perjuangan perempuan bukanlah pesta hura-hura yang tetap terjebak pada “kenyamanan” patriarkal. Pesta bagi perjuangan perempuan adalah penciptaan teror! Teror untuk tidak terjebak pada titik nyaman yang disuguhkan patriarki.

Jebakan atributif pada hari perayaan telah mengikis makna perjuangan yang disampaikan. Kartini adalah perempuan kritis pada masanya yang telah menuliskan berbagai pemikiran revolusioner untuk kemajuan perempuan Indonesia. Seharusnya kita mengambil pengetahuan yang ia bagi. Kita harus mengingat bahwa kematiannya menjadi horor bagi kehidupan perempuan Indonesia. Kematian saat melahirkan adalah realitas yang masih dialami oleh banyak perempuan Indonesia di beberapa daerah. Lalu apakah kita mau melupakan tragedi ini dengan segala hura-hura berpakaian adat?

Kartini tidak menginginkan kain kebaya yang menghambat geraknya. Kartini menginginkan kemerdekaan bagi perempuan. Pemikirannya pada masa itu adalah teror bagi kehidupan nyaman. Ia menginginkan ketidaknyamanan yang membebaskan dirinya. Itulah yang seharusnya kita lanjutkan, sebagai perempuan Indonesia. Kritis adalah syarat utama untuk lepas dari belenggu kain patriarkal. Kritis akan membuka ribuan pertanyaan atas kenyamanan hidup, dan kemudian menghasilkan berbagai olahan ide untuk menggugah perubahan. Itulah teror pemikiran yang akan mengganggu patriarki.

Apabila Kartini melihat kondisi perempuan Indonesia pada masa kini, tentu ia tetap akan merasa miris. Kemajuan pesat yang telah diraih perempuan Indonesia, tidak diiringi dengan kemajuan pemikiran. Masih banyak jebakan stereotipe pada peranan perempuan di masyarakat. Masih banyak perempuan yang membenarkan anggapan “setinggi-tingginya kuliah, akhirnya di rumah juga”, sebagai cita-cita mulia, tanpa mau mengkritisi pilihan hidupnya. Masih tingginya angka kematian ibu saat melahirkan. Masih banyak perempuan yang dipoligami. Masih banyak aturan negara yang justru diskriminatif terhadap perempuan. Masih banyak KEGELAPAN!

Terang yang diinginkan Kartini bukanlah terang atribut yang menunjukkan “perempuan Indonesia sudah maju lho.” Terang yang diinginkan Kartini adalah kesetaraan perempuan untuk terlibat bersama laki-laki dalam kehidupan. Kesetaraan ini adalah kesetaraan peranan dalam keluarga dan juga kesetaraan hidup sebagai warga negara. Terang ini adalah keberanian perempuan untuk menggunakan rasionya secara kritis dan menyadari penuh pilihan hidup perempuan. Bukan untuk diatur dan dikondisikan dalam titik nyaman.

Semoga peringatan atas hari Kartini ini tidak menjadi euforia semata dan amnesia sesudahnya. Inilah penyakit yang harus kita lawan bersama. Baik perempuan maupun laki-laki Indonesia harus menyadari bahwa segala pesta atibutif adalah korupsi terbesar terhadap kritisisme manusia. Memaknai terang Kartini ibarat melanjutkan teror pemikiran Kartini yang melawan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Dimulai dari melawan rasa nyaman yang diberikan pada kita secara individual, maka kita akan memiliki pondasi kuat untuk melawan aturan-aturan patriarkal yang mengatur kehidupan perempuan dalam masyarakat.

Kritislah Perempuan Indonesia! Robeklah “kain patriarkal” yang membelenggu kalian. Berlarilah terus membawa terang perjuangan demi perubahan!


Salam,


Ikhaputri Widiantini




Leave a Reply.