KOMUNITAS UNGU
 
Malam ini aku harus keluar, bertelanjang kaki bukan karena aku senang. Tapi karena aku tidak mempunyai sandal karet, sepatu hitamku yang sudah usang harus dijaga sebaik mungkin untukku sekolah agar dapat bertahan paling tidak setahun lagi sampai aku dapat membeli yang baru atau mendapat sumbangan dari tetangga.

Kaki ngilu dan perih karena luka lecet yang kualami, telapakpun terasa gatal dan sakit sesekali. Tidak apa. Aku sudah biasa dengan rasa ini. Perlahan kuberjalan yang kadang-kadang kuberjingkat-jingkat kecil menghampiri rumah dempet nan mungil nan sederhana. Memanggil temanku Wulandari yang sangat pemalu namun galak itu.

Ia sedang berada diambang pintu sambil memeluk gitar mungilnya alias ukulele. Ia membelalakan matanya dan melesat menghampiriku. Menggaetku dan menarikku untuk berlari. Terdengar teriakan dari dalam rumahnya. Sebuah suara parau yang berat dan keras.

Wulandari berteriak padaku, “Cepeeett!! Buruaaaann Ulaaa...!!”

Belum sempat aku rampungkan lamunan karena kejadian itu. Kami sudah tiba dipersimpangan jalan keluar dekat jalan raya besar satu arah. Napas kami berdua menderu-deru bergantian, bahu dan dada kami naik turun tak karuan dengan tangan tertopang diatas lutut. Lelah dan sambil menatapnya atas dan bawah. Ia memalingkan wajahnya, berusaha menyembunyikan raut mukanya yang khawatir dan ketakutan.

“Ula..jalan lagi nyok... di sono udeh mule rame.” Wulandari mengajakku.

Ia berjingkat sambil memetik ukulelenya. Aku diam, tidak mengangguk tapi berlari kecil mengikutinya. Kemudian, aku melihat ke atas kearah langit biru tua yang menyisakan jingga sedikit-dikit. Tandanya belum pukul 7 malam. Aku masih mempunyai waktu sedikit untuk menghasilkan beberapa koin, syukur kalau ada beberapa orang yang rela memberikan aku selembar ribuan.

Persimpangan dekat stasiun sudah kujejaki. Wulandari berada dibelakangku sambil mengoceh sendiri atau mungkin menghafalkan lirik lagu yang baru ia pelajari. Kuputuskan untuk mempercepat jalanku dan memutari stasiun atas dan bawahnya. Kuseret kakiku yang perih untuk menaiki tangga satu-satu hingga mencapai puncak stasiun.

Deruan kereta di seberang mengibaskan rambut merah pendek tipisku. Wulandari sudah di samping. Setelah toleh kanan dan kiri, aku berbelok ke kiri. Melangkah ringan sambil memperhatikan keramaian yang ada. Seorang perempuan muda dengan tas punggung menatap kosong ke arah rel, entah apa yang ia pikirkan, matanya sendu dan diam saja tak bergeming. Beberapa ibu-ibu menjinjing tas plastik berceloteh seru mengenai pasar dan barang belanjaannya. Lalu ada seorang kakek duduk dibangku besi panjang yang ramping sedang membaca halaman besar sebuah warta berita, dengan wajah yang sangat serius. Beberapa meter dari situ, sekelompok anak muda menengah atas dengan seragam putih abu-abu, perempuan dan laki-laki tertawa bercanda riang. Dan beberapa diantaranya orang-orang dengan wajah letih sehabis pulang bekerja dengan kemeja kotak-kotak, polos, garis-garis ataupun motif lainnya yang tidak aku mengerti, yang tadi pagi pasti rapi namun sekarang sudah kusut.

Kusapa malu-malu perempuan muda, menghiburnya dengan suara nyaring nyanyian lagu terkini. Ia tersenyum hambar berusaha hangat dan lalu merogoh kantong celananya. Diraihnya dengan susah payah sekeping koin perak dengan angka 5 besar dan dua nol dimukanya. Tangannya mengulurkan koin tersebut, aku meraihnya dengan cepat.

Kericikanku masih mengiringi. “Terimakasih, Kak!” seruku.

Orang demi orang, kelompok berganti kelompok lain kuhampiri, kusambangi, kusapa dan kuhibur dengan beberapa bait lagu-lagu yang kuhafal. Kericikan plastikku yang berwarna kuning kusam, dengan barisan logam-logam besi tipis yang sudah karatan pula serta dihiasi lubang-lubang berbentuk bintang pemberian paman angkatku setia menyertai dan mengiringi. Terkadang kugoyang ia ke atas, kesamping, kupukulkan ketelapak tangan atau paha kurusku. Menyanyi dan bernyanyi dengan nada-nada seasalku, sebisaku. Kadang aku melengking, kadang menyerak parau karena haus dan keringnya kerongkonganku.

Wulandari masih semangat memutari stasiun, memburu koin-koin perak. Perutku berbunyi. Lapar. Tadi siang saja aku baru makan sekali seadanya, sebelum mengayuhkan kaki berbalut sepatu hitam bututku ke sekolah. Rasa takutpun sering menghinggapi dadaku, ngeri jika ditagih hutang bayaran sekolah. Ah, aku tinggal menunduk saja jika ditanya ibu guruku dan diam sambil menggeleng.

Bapak dan ibu sedang di rumah malam ini. Mereka sedang tidak enak badan. Bapak sedang sepi orderan mengangkut barang. Mobil bak yang sudah butut, reot dan karatan miliknya, terparkir di tanah kosong yang kering dengan tangki bensin kosong belum terisi. Tapi, meskipun mereka ada pekerjaan, sudah jadi rutinitas wajibku keluar sore hari sehabis pulang memburu koin-koin perak dengan nyanyian sejak 2 tahun lalu.

Lalu teringat kakak-kakak dan adik-adikku yang banyak tersebar dimana-mana. Mereka tidak tinggal lagi bersamaku. Entah dimana, aku tidak tahu. Tujuh tahun yang lalu, rumahku ramai sekali isinya. Bahkan kami tidur berdesa-desakan dalam satu kamar. Perlahan-lahan mereka pergi satu persatu saat sudah seumurku sekarang.

Aku pernah mendengar Bapak berkata kepada Ibu, bahwa itu yang terbaik. Beberapa diantaranya dijemput oleh paman angkatku dengan mobil minivan berbentuk seperti kapsul hijau lumut. Sementara sebagian dari kakak-kakakku diantar oleh Bapak. Entah, dibawa kemana. Aku tidak pernah berani menanyakan ini pada orangtuaku.

Perutku berbunyi nyaring lagi. Seakan berseru dan berteriak minta diisi makanan yang berat hingga kenyang. Saatnya bergerak kembali.

Aku berlari kearah Wulandari. Berseru padanya agar segera pergi dari stasiun, berpindah tempat ke area pedagang kaki lima menjajakan masakannya dekat museum planet. Kami melompati anak-anak tangga stasiun, melesat keluar melewati pedagang-pedagang keranjang rotan dan bunga-bunga yang sepi pelanggan. Sebagian sedang menutup gerainya. Terus melesat tanpa melihat kanan kiri. Menyebrangi persimpangan ke arah restoran cepat saji dengan logo kartun seorang kakek gemuk dengan senyum lebar. Kaca-kaca besar bening memagari ruang restoran. Terlihat jelas kursi-kursi besi hitam dan meja besi kelabu beralas putih di atasnya sebagian penuh diduduki orang yang sedang nikmat menyantap ayam goreng tepung dengan tangan mereka. Sinar-sinar lampu berwarna merah putih dan kuning aksen dari logonya meriahkan suasana monoton di dalam restoran.

Berjalan pelan dan berjongkok di sudut trotoar kasar berbatuan yang mencuat lepas setengah badan dari tanahnya. Menghitung perlahan satu persatu koin dan lembaran biru hasil dari menjelajahi stasiun. Masih kurang untuk diberikan kepada orang tua kami berdua. Masih kurang untuk mencukupi makanan di rumah meskipun sederhana. Dan, masih jauh dari makanan mewah enak untuk dinikmati bersama-sama di rumah. Mungkin butuh waktu lebih dari sebulan mengumpulkan koin perak dan lembar biru untuk bisa makan mewah sekali saja.

Wulandari, sahabatku. Menghentakan kakinya kesal. Lalu mengerang. Ia mungkin marah, tapi mungkin juga takut pulang dengan uang tipis ditangan. Ditambah rasa lapar yang mendera kami berdua. “Jalan lagi yok, lan! Kita kesana aja!” bujukku.

Kerikil dan bebatuan tajam menyiksa telapak kaki kanan-kiriku. Tak kugubris, lebih penting rasa lapar dalam perutku yang sudah terasa perih sedari tadi. Sesekali aku menelan pelan ludah dalam mulutku. Melihat orang berpasangan makan, sekelompok mahasiswa makan dan tukang nasi goreng gerobak yang mengaduk dan menyerokan masakannya. Kutelan lagi ludah dengan susah, haus dan lapar. Harum bawang semilir menyentuh lubang hidungku dan kemudian menyusup ringan. Membuatku semakin keroncongan.

Wulandari menatap kosong kompor dan wajan besar dengan gagang kayu panjang disamping gerobak si tukang nasi goreng. Sepertinya ia berharap bisa mendapat setengah porsi saja dari si abang.

Kutarik ia jauh-jauh dari gerobak. Kuajak ia bernyanyi bersama, menghibur beberapa orang yang sedang duduk bersila, lesehan di atas trotoar lapang depan papan-papan bergambar yang mencuat tinggi ke atas.

Dua koin masuk kantungku, dua lagi masuk kantong Wulandari. Satu koin kuraih dari seorang pemuda dengan kemeja santai. Selembar halus namun garing berwarna biru kulipat dalam genggaman lalu kumasukan dalam kantung. Wulan menerima dua lembar lusuh yang ia sisipkan dalam saku celananya yang ada robekan kecil membentuk lubang pada bagian depannya.

Berjalan lagi. Menghampiri lagi. Satu orang dua orang. Kelompok muda campur-campur. Ah, sepi sekali malam ini. Aku masih merasa lapar. Lebih baik kami menuju arah rumah saja, jika masih ada orang kami akan minta izin bernyanyi. Sampai ujung jalan lalu pulang saja. Begitulah rencananya.

Dari jauh kupandang, seorang perempuan dan lelaki duduk berhadapan menunggu pesanannya. Sesekali mereka berbalas pantun, pantun pendek-pendek. Mereka lapar sepertiku. Mereka lelah seperti aku juga. Kudatangi saja mereka, tampaknya mereka baik. Aku baru menyanyi sedikit. Tapi aku langsung ditolak, sepasang itu memberikan tanda tidak mau memberi sekepingpun.

Di rumah aku diajari, harus bertahan sampai dikasih. Beri muka memelas. Aku melemaskan otot-otot diwajah. Memberikan sinar mata sayu dan berharap sambil berkata, “Aku laper om..Mau makan om..” rayuku.

Si perempuan menanggapiku dengan pertanyaan, “Kamu lapar? Mau makan?” aku mengangguk. Perempuan itu mengajak makan bersama mereka, si lelaki tersenyum tipis padaku namun hangat rasanya.

Kuminta nasi goreng dengan es teh manis. Si lelaki tampaknya pendiam. Pasangannya mengajakku berbicara, bertanya banyak tentang diriku, namaku, rumahku, orangtuaku, sekolahku, kerjaanku, cita-citaku dan kapan terakhir aku makan.

“Nama kamu siapa?” tanya perempuan itu.
“Ula” jawabku.
“Nama panjang kamu siapa sayang?” lanjutnya lagi.
“Ulipah” sahutku pelan, malu-malu.
“Lucu sekali!” seru perempuan itu. Lalu ia berkata, “Jadi nama kamu Ulipah, tapi dipanggilnya Ula, ya?”
Dan aku mengangguk pelan.

Aku ingin bercerita banyak, tapi mulutku terasa seperti dijahit. Sulit sekali untuk kubuka dan berkata banyak. Pertanyaan-pertanyaannya kujawab dengan satu potong dua potong kata saja. Dalam hatiku berkata, apakah besok kamu ada di sini lagi tante?

“Terus, kalau kamu sudah besar nanti mau jadi apa Ula?” Perempuan itu tetap berusaha mengajakku mengobrol.
“Suster” jawabku singkat sambil memalingkan muka darinya. Aku takut dicela dengan jawaban dan keinginanku untuk menjadi suster. Dokter katanya untuk laki-laki saja. Tapi, buatku suster mempunyai keistimewaan tersendiri.

Wulandari memperhatikanku dari jauh. Menatap dalam seakan minta diajak. Aku malu dan aku takut. Ingin aku mengajaknya, tapi aku tidak berani meminta pada pasangan itu. Aku takut mereka menolak permintaanku. Aku diam saja, berusaha memalingkan pandangan dari wajah sahabatku yang cantik itu, tidak tega rasanya.

Si perempuan itu membaca gelagat Wulandari sepertinya. Ia berbisik pada si lelaki, pasangannya, yang bermata sipit dengan pipi tembam. Si lelaki menoleh ke belakang, melihat sahabatku. Lalu menoleh kembali ke si perempuan sambil berkata, “Ajak aja..” Si perempuan memanggil sahabatku, Wulandari malah memalingkan wajah karena malu. Menolak untuk duduk dan makan bersama kami.

Perempuan bertanya padaku nama sahabatku itu yang malu-malu tapi mau. Lalu memanggil, “Wulandari, ayo makan..yuk! Jangan takut..Ayo duduk disini” sambil menunjuk bangku kosong dihadapanku. Akhirnya aku berani mengajaknya setelah melihat reaksi positif pada sahabatku itu. Tetap tidak mau tapi masih menatapi mejaku.

Makananku datang. Aku lapar. Lapaaaarr sekali! Kuambil sendok dan garpu, tidak pernah aku memakainya. Tidak pernah ibu dan bapak mengajariku cara memakainya. Ah, yang penting aku bisa memasukan nasi gorengku ke dalam mulut. Kupegang saja asal-asalan sepasang alat makan itu. Kugenggam saja sendok di tangan kiriku dan garpu di tangan kananku. Lalu perempuan itu membenarkan posisi sendok dan garpuku. Ia bilang kalau aku terbalik memegangnya.

Wulandari mencuri pandang ke arahku. Aku mengajaknya dengan ayunan tangan kurusku. Dia tetap menggelengkan kepalanya. Ia tidak lapar atau benar-benar malu ya?

Sekelompok anak muda menyanyi-nyanyi riang dihadapanku. Mencemoohku. Menggodaiku. Sering kali mereka menggangguku dan Wulandari. Kami sering disiram dengan air jika melewati mereka. Aku menjulurkan lidahku. Senang tetapi kesal. Kesal karena diejek terus menerus dan senang karena bisa makan enak di depan mereka.

Akhirnya, Wulandari ditawari lagi untuk makan. Namun kali ini ia ditawari untuk dibungkus saja makanannya dan dibawa pulang. Kali-kali dia malu makan bersama pasangan itu. Syukurlah, ia mengangguk setuju. Tidak lagi menolak tapi masih tetap malu-malu dan menjaga jarak. Sungguh senang rasanya. Aku melahap cepat dan khusyuk makananku. Kusikat sampai licin. Sampai butir nasi terakhir. Saat sesuap sendok terakhir, aku sambil berharap dalam-dalam seandainya besok aku mengalami hal yang serupa lagi.

Saat selesai sudah, aku mengucapkan terima kasih kepada si om. Yah, ia laki-laki. Pasti ia yang membayari semuanya. Aku langsung berlari menjauh. Dari arah utara si perempuan itu dan membelakangi si om, aku melambaikan tangan pada yang perempuan.

***
Kriingg...Kriinngg...!!
Bunyi bel dipintu masuk menyadarkanku. Aku menguap lebar, sambil membukakan pintu masuk. Seorang rekanku dari lantai dasar memberitahuku untuk menyiapkan kamar dan kasur. Ada yang harus dirawat malam itu.

Aku berjalan lemas disepanjang lorong sambil membawa papan daftar pasien dan kamar yang terisi. Aku melamun, rupanya tadi aku tertidur sebentar langsung mengalami mimpi yang sangat panjang. Kembali ke masa kecilku. Kembali pada malam biru tua berhias jingga disana-sini.

Kubuka daun pintu kamar, dan menyiapkan seprai, selimut serta bantal empuk. Sebentar lagi sang pasien akan datang. Aku hanya ingin setiap pasien merasa nyaman walaupun sakit. Hari ini giliranku jaga malam. Hanya bertiga saja dengan suster-suster yang lain dilantai 5 ini. Mereka sedang berkeliling.

Aku menatap kearah luar jendela. Mencoba mengingat mimpiku, mengingat masa kecilku yang suram dan miskin. Lalu bayangan sahabat kecilku muncul dalam benak. Wulandari. Seorang anak perempuan dengan mata besar, kaki lincah dan gayanya yang pemalu sambil memetik ukulele berwarna birunya yang ia beli dengan amat susah payah menabung. Kami sudah terpisah belasan tahun lamanya. Seperti apa dia sekarang? Dimana dia? Jadi apakah dia sekarang? Pikiranku mengembara, mencoba membayangkan akan diri dan hidupnya yang sekarang.

Suara roda sayup-sayup menggelinding dari arah lorong yang lama kelamaan menjadi semakin nyaring terdengar. Sebuah tempat tidur beroda dari ruang gawat darurat mengangkut seorang perempuan tua setengah baya. Dengan selang pernapasan menempel dihidungnya. Perempuan tua itu memejamkan matanya. Seorang lelaki tua bermata sipit dengan pipi kendur kearah bawah menemaninya dan menggenggam tangan perempuan tua itu. Menatapi perempuan tua yang terbujur lemas dengan penuh kasih sayang dan raut khawatir.

Paginya, aku pulang kerumah. Membersihkan badan dan memberesi beberapa barang dalam kamar asramaku. Kemudian tidur pulas hingga sore hari. Setelahnya aku bersiap kembali ke Rumah Sakit. Berjalan kaki sambil membawa bekal makanan untuk makan malamku.

Setelah berganti pakaian putih-putih seragam dinasku dan mengaitkan pin panjang bertuliskan namaku. Aku naik ke atas. Ke area kerjaku. Membereskan arsip-arsip pasien. Kemudian keliling kamar perkamar, memeriksa keadaan pasien. Mencatat keperluan dan perkembangan mereka. Memeriksa detak jantung, tekanan darah dan bahkan mengambil darah beberapa pasien untuk diperiksakan ke laboratorium.

Kemudian, aku kembali ke mejaku didepan. Menyusun laporan malam ini. Jam jenguk sudah habis, hanya tersisa pasien dan beberapa orang kerabat dari pasien yang menemani. Kunyalakan televisi berlayar mini diatasku.
Menyaksikan sebuah tayangan drama yang disiarkan. Kukecilkan suara televisi dan menyandarkan tubuh pada sandaran kursi.

Perlahan kutertidur tegak.

Kriing..kriinng..!! Bel kembali berbunyi seperti kemarin malam. Rekanku dari ruang rawat intensif memberitahu ada perpindahan pasien ke kamar rawat biasa. Seperti biasa aku menyiapkan kamar untuk pasien hingga senyaman mungkin. Setelah beres, aku menelpon ke lantai bawah. Memberitahu kamar sudah siap. Hanya dalam waktu 10 menit saja, pasien yang dimaksud sampai ke lantaiku.

Selang pernapasan menempel dihidung pasien perempuan muda berwajah pucat dengan beberapa lebam biru pada bagian kantong mata, pelipis serta bibir yang bengkak, serta tangan kiri berbalut perban tebal yang keras dan dua kantong infus menggantung diatas tiang tempat tidur beroda.

Wajah itu tampak pernah kulihat disuatu tempat. Sangat akrab sekali buatku. Dalam sekejap aku terkesiap, terkejut dan sangat kaget. Baru tersadarkan, pasien perempuan muda itu, sahabat kecilku, Wulandari. Air mata menetes perlahan diatas pipi dan aku gemetar sekujur tubuh.

Tebet, 17 Oktober 2009.
(Shera Pringgodigdo)
diambil dari Notes Facebook milik Shera
Haris Abdullah
4/20/2010 04:43:32 pm

Ceriata yang mengharukan, dari derita sang anak, perjalanan waktu merubah hidup dari rasa lapar hingga dapat menggapai cita-citanya........kendatipun sudah lama beselang Ulipah masih mengenang jasa orang yang pernah mengajak dirinya makan bersama temannya wulandari kendatipun wulan makanannya hanya dibungkus.....syabass dan salut atas potret sosial yang ada disekeliling kita, berhasil dituangkan dalam jalinan kata,...dalam bentuk cerita pendek....bagus...sekali lagi bagus

Reply



Leave a Reply.