KOMUNITAS UNGU
 
Indonesia dan 21 April, menjadi tanda atas memori perayaan Hari Kartini. Sebenarnya apa yang diinginkan melalui perayaan ini? Apakah ini menandai sebuah penghargaan terhadap perjuangan perempuan Indonesia? Ataukah justru sebagai penyempitan “pesta sehari” bagi perempuan? Ada yang beramai-ramai merayakan dengan pesta baju adat dan perlombaan-perlombaan “khas” perempuan. Sejak April datang, mal-mal berlomba-lomba mempromosikan potongan harga khusus untuk item-item perempuan. Berbagai talkshow bertemakan “perempuan” dihadirkan. Namun, ada pula yang mempertanyakan, kenapa harus Kartini? Bagi mereka Kartini adalah simbol dari Jawaisme pada era orde baru. Lalu dimana ruang perayaan bagi pahlawan perempuan lainnya?

 
Pergerakan perempuan ditandai pada tanggal 8 Maret sebagai simbol dari kebebasan pikiran dan tindakan perempuan. Ketika pemikiran dan keseharian perempuan diminggirkan dalam masyarakat patriarkal, maka suara-suara yang terbungkam tersebut memberontak dan ingin didengarkan. Perjuangan ini merupakan peringatan atas memori kolektif yang menandai tanggal tersebut. Ratusan buruh perempuan terbunuh, ratusan pemikiran perempuan dimatikan demi kelanggengan dominasi kuasa patriarkal. Apakah kita akan selalu diam dan mengikuti sistem? Itulah tantangan dari perayaan tanggal 8 Maret. Bukan sekedar euforia berbentuk aksi sehari dan melupakan pemaknaan yang ada.